Kekuasaan kehakiman di Indonesia
Kekuasaan kehakiman, dalam konteks
negara Indonesia, adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia.
Pengertian Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum
RI; Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Badan
Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan
Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi; peradilan dilakukan “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; Peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat dan biaya ringan; Badan Peradilan dan Asasnya;
Hubungan Pengadilan dan Lembaga Negara
lainnya; Kedudukan Hakim dan Pejabat Peradilan.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan. Berdasarkan perubahan
tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh:
·
Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan
peradilan tata usaha negara.
·
Mahkamah
Konstitusi
Selain itu terdapat pula Peradilan
Syariah Islam di Provinsi Aceh, yang merupakan pengadilan khusus dalam
Lingkungan Peradilan Agama (sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan
peradilan agama) dan Lingkungan Peradilan Umum (sepanjang kewenangannya
menyangkut kewenangan peradilan umum).
Di samping perubahan mengenai
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, UUD 1945 juga memperkenalkan suatu lembaga
baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi
Yudisial. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim
Prinsip Dasar Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan
dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah
adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari
pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Menurut sistem UUD 1945, kekuasaan kehakiman sebagai
penyelenggara negara merupakan salah satu badan penyelenggara negara, di
samping MPR, DPR, Presiden dan BPK.[1] Sebagai badan penyelenggara negara,
susunan kekuasaan kehakiman berbeda dengan susunan badan penyelenggara negara
yang lain. Kekuasaan kehakiman terdiri atas kekuasaan kehakiman tertinggi dan
kekuasaan kehakiman tingkatan lebih rendah. Sedangkan badan penyelenggara
negara yang lain hanya terdiri atas satu susunan. Tidak ada susunan badan MPR,
DPR, Presiden dan BPK, tingkatan yang lebih rendah.
Kekuasaan kehakiman tertinggi
dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama-sama badan-badan peradilan yang berada
di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.[2]Menurut sistem UUD 1945,
fungsi kekuasaan Mahkamah Agung, ialah:
a.
Melakukan
kekuasaan kehakiman, yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Akan tetapi DPR berperan untuk mengontrol
kekuasaan Mahkamah Agung melalui penentuan pengangkatan dan pemberhentian hakim
agung, yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
b.
Dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, Presiden diberi hak untuk memberikan
grasi dan rehabilitasi.
c.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi suatu lembaga
baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi
Yudisial. Komisi Judisial ditentukan dalam Pasal 24B UUD 1945, sebagai berikut:
1.
Komisi
Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
2.
Anggota
Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum
serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
3.
Anggota
Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
4.
Susunan,
kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
Implementasi Pasal 24B UUD 1945, yaitu
diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, tentang Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung, serta pengawasan
terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim. Komisi Yudisial merupakan
lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas
dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.[3] Komisi Yudisial mempunyai
wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, dan menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim.[4] Dari
rincian fungsi masing-masing lembaga tersebut di atas dapat terlihat bahwa
hubungan di antara Presiden, DPR dan Mahkamah Agung, dikembangkan secara
seimbang melalui mekanisme ‘checks and balances’. Melalui mekanisme ‘checks and
balances’ tersebut, ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan judisial
yang tercermin dalam tiga lembaga tersebut dapat saling mengendalikan dan
saling mengimbangi, sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan di antara satu
sama lain.
Kekuasaan kehakiman yang dijalankan
oleh Mahkamah Agung bersama-sama badan-badan peradilan yang berada di bawahnya,
adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas
perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan perundang-undangan. Badan yang memegang kekuasaan kehakiman dan
peradilan ini harus dapat bekerja dengan baik dalam tugas-tugasnya, sehingga
dihasilkan putusan-putusan yang objektif dan tidak memihak dengan senantiasa
menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Karenanya badan ini harus bebas dari
pengaruh kekuasaan lain atau pengaruh kekuasaan pemerintahan.
Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, seperti dikehendaki
Pasal 24 UUD 1945.[5] Hal ini berarti kekuasaan kehakiman yang merdeka atau
independensi kekuasaan kehakiman, telah diatur secara konstitusional dalam UUD
1945. Dari konsep negara hukum seperti yang digariskan oleh konstitusi,[6] maka
dalam rangka melaksanakan Pasal 24 UUD 1945, harus secara tegas melarang
kekuasaan pemerintahan negara (eksekutif) untuk membatasi atau mengurangi
wewenang kekuasaan kehakiman yang merdeka yang telah dijamin oleh konstitusi
tersebut. Dengan demikian kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi
kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah.
Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka
sebagai salah satu sendi penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
tidak dapat dipisahkan dari asas bahwa negara Indonesia adalah negara
berdasarkan konstitusi dan negara hukum. UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip
penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya, untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Untuk memahami asas kekuasaan
kehakiman yang merdeka, tidak terlepas dari doktrin Montesquieu mengenai tujuan
dan perlunya ‘pemisahan’ kekuasaan, yaitu untuk menjamin adanya dan
terlaksananya kebebasan politik anggota masyarakat negara. Montesquieu
memberikan arti kebebasan politik sebagai “a tranquility of mind arising from
the opinion each person has of his safety. In order to have this liberty, it is
requisite the government be so constituted as one man need not be afraid of
another”.[7]Kebebasan politik ditandai adanya rasa tenteram, karena setiap
orang merasa dijamin keamanannya atau keselamatannya. Untuk mewujudkan
kebebasan politik tersebut maka badan pemerintahan harus ditata sedemikian rupa
agar orang tidak merasa takut padanya, seperti halnya setiap orang tidak merasa
takut terhadap orang lain di sekitarnya.
Penataan badan negara atau
pemerintahan yang akan menjamin kebebasan tersebut, menurut Montesquieu
dilakukan dengan cara pemisahan badan pemerintahan ke dalam tiga cabang
kekuasaan. Tanpa pemisahan itu, maka tidak akan ada kebebasan. Dikemukakan oleh
Montesquieu dalam ‘The Spirit of The Laws’ dalam pembenaran doktrin pemisahan kekuasaan
(separation of power), bahwa: “When the legislative and executive powers are
united in the same person, or in the same body of magistrates, there can be no
liberty; because apprehensions may arise; lest the same monarch or senate
should enact tyranical laws, to execute than in a tyranical manner. Again,
there is no liberty, if the judiciary power be not separated from the
legislative and executive. Were it joined with the legislative, the live and
liberty of the subject would be exposed to arbitrary control; for the judge
would be then the legislator. Were it joined to executive power, the judge
might behave with violence and oppression. There would be an end of everything,
were to some man, or the somebody, weather of the nobbles or of the people, to
the exercise those three powers, that of enacting laws, that of executing the
public resolution and of trying the causes of individuals.”[8]
Apabila kekuasaan kehakiman
digabungkan dengan kekuasaan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan seseorang
akan berada dalam suatu kendali yang dilakukan secara sewenang-wenang. Di lain
pihak, kalau kekuasaan kehakiman bersatu dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim
mungkin akan selalu bertindak semena-mena dan menindas. Dengan demikian,
ditinjau dari ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power), kekuasaan
kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan
mencegah kesewenang-wenangan.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
tidak dianut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) ‘Trias Politica’
seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu. Tetapi dengan Perubahan UUD 1945
dapat dikatakan bahwa Indonesia sedang membangun doktrin hukum mengenai
pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan kewenangan masing-masing
kekuasaan dimungkinkan adanya pengawasan (check) terhadap kewenangan kekuasaan
lainnya sehingga dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan,
agar tercipta harmonisasi kekuasaan (harmonization of powers) berada dalam
keseimbangan (balances), atau ‘check and balances among of powers’, untuk
mencegah timbulnya kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan.[9]
Dalam membangun doktrin-doktrin hukum
sedemikian ini, dapat dikatakan sebagai inti dari keseluruhan reformasi
berbagai bidang di Indonesia.[10]Dengan konsep check and balances dimungkinkan
adanya pengawasan dari satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya di antara
cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial, sehingga dapat
saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan demi tercapainya
harmonisasi kekuasaan berada dalam keseimbangan untuk mencegah
kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Doktrin-doktrin hukum dalam
keseluruhan reformasi tersebut, kemudian memunculkan pemikiran penggunaan
konsep check and balances,[11] berkenaan dengan kewenangan pengawasan terhadap
kekuasaan kehakiman.
Meskipun UUD 1945 tidak menganut
ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) ‘Trias Politica’ seperti yang
dikemukakan oleh Montesquieu tersebut, kekuasaan kehakiman yang merdeka harus
tetap ditegakkan baik sebagai asas dalam negara hukum, maupun untuk
memungkinkan kekuasaan kehakiman menjamin agar pemerintahan tidak terlaksana
secara sewenang-wenang.[12] Ditinjau dari doktrin pemisahan kekuasaan
(separation of powers), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari
upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan. Dengan kata
lain, kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah, sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari
kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Dengan demikian,
kehadiran kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak lagi ditentukan oleh stelsel
pemisahan kekuasaan (separation of power) atau stelsel pembagian kekuasaan
(distribution of power), tetapi sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi
terwujudnya negara hukum, terjaminnya kebebasan serta pengendalian atas
jalannya pemerintahan negara.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat
dikatakan sebagai suatu refleksi dari ‘Universal Declaration of Human Rights’,
dan ‘International Covenant on Civil and Political Rights’,[14] yang di
dalamnya diatur mengenai “independent and impartial judiciary“. Di dalam
Universal Declaration of Human Rights, dinyatakan dalam Article 10, “Every one
is entitled in full equality to a fair and public hearing by in independent and
impartial tribunal in the determination of his rights and obligations and of
any criminal charge against him”. Setiap orang berhak dalam persamaan
sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan
yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajibannya
dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya.[15] Di dalam
International Covenant on Civil and Political Rights, dalam Article 14 dinyatakan,
“… in the determination of any criminal charge against him, or of his rights
and obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and
public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established
by law”.
Unsur-unsur yang dapat ditarik dari
rumusan di atas yakni menghendaki: (i) adanya suatu peradilan (tribunal) yang
ditetapkan oleh suatu perundang-undangan; (ii) peradilan itu harus independent,
tidak memihak (impartial) dan competent; dan (iii) peradilan diselenggarakan
secara jujur (fair trial) dan pemeriksaan secara terbuka (public hearing).
Semua unsur-unsur tersebut tercantum dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945
sebelum perubahan dan diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, seperti telah dicabut dan digantikan
dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dari konsep negara hukum seperti
digariskan dalam konstitusi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka dalam rangka
melaksanakan Pasal 24 UUD 1945, harus secara tegas melarang kekuasaan
pemerintahan negara atau eksekutif untuk membatasi dan mengurangi wewenang
kekuasaan kehakiman yang merdeka atau hakim yang bebas dalam proses peradilan
yang telah dijamin oleh konstitusi tersebut.
Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
yang merdeka, dikatakan oleh Russell dalam ‘Toward a General Theory of Judicial
Independence’: “A theory of judicial independence that is realistic and
analytically useful cannot be concerned with every inside and outside influence
on judges”.[16] Dalam hal hakim yang bebas dalam proses peradilan, menurut
Kelsen: “The judges are, for instance, ordinarily ‘independent’ that is, they
are subject only to the laws and not to the orders (instructions) of superior
judicial or administrative organs”.[17] Dalam proses peradilan hakim hanya
tunduk kepada hukum dan tidak tunduk kepada perintah atau instruksi dari organ
yudisial atau administratif yang lebih tinggi. Betapa pentingnya kekuasaan
kehakiman, Harold J. Laski dalam “Elements of Politics” mengemukakan,
“Certainly no man can over estimate the importance of the mechanism of
justice”.[18] Dalam kaitannya kekuasaan kehakiman yang merdeka, Scheltema dalam
‘De Rechtsstaat’, mengemukakan: “Beslissing van rechtsgeschillen door en onafhankelijkerechter
is de basis voor een goed functionerend rechtssystem. Wil men ook garanderen
dat de overheid zich houdt aan het geldende recht, dan zal onafhankelijke
rechter over klachten van burgers dienaangaande moeten oordelen. Aan deze eis
wordt in ons voldaan.”
Dalam penyelesaian sengketa hukum oleh
suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka (hakim yang bebas), merupakan dasar bagi
berfungsinya sistem hukum dengan baik. Dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka,
setiap orang akan mendapat jaminan bahwa pemerintah akan bertindak sesuai
dengan hukum yang berlaku, dan dengan hanya berdasarkan hukum yang berlaku itu
kekuasaan kehakiman yang merdeka bebas memutus suatu perkara.
Di Indonesia kekuasaan kehakiman
diatur dalam berbagai undang-undang sesuai dengan lingkungan peradilan
masing-masing. Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dalam Pasal 1
Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, memberikan
batasan mengenai ruang lingkup ‘merdeka’, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
negara hukum Republik Indonesia. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial
bersifat tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan
rakyat Indonesia.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka bukan
berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya tanpa
rambu-rambu pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal
adanya asas umum untuk berperkara yang baik (general principles of proper
justice),[20] dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural atau hukum acara
yang membuka kemungkinan diajukannya berbagai upaya hukum. Dengan demikian
dalam hal fungsi kehakiman adalah keseluruhan rangkaian kegiatan berupa
mengadili suatu perkara sengketa yang individual konkret dan dalam kaitannya
dengan konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang dalam konteks hukum
meliputi wewenang, otoritas, hak dan kewajiban, maka kekuasaan kehakiman dapat
diartikan sebagai kekuasaan, hak dan kewajiban untuk menentukan apa dan
bagaimana norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan
kepadanya, maka kekuasaan kehakiman terikat pada peraturan-peraturan yang
bersifat prosedural yang disebut Hukum Acara. Kekuasaan kehakiman yang merdeka
yaitu terwujud dalam kebebasan hakim dalam proses peradilan, dan kebebasan
hakim dalam menjalankan kewenangannya ini, ada rambu-rambu aturan hukum formal
dan hukum material, serta norma-norma tidak tertulis yang disebut asas umum
penyelenggaraan peradilan yang baik (general principles of proper justice).[21]
Dengan kata lain, kekuasaan peradilan terikat pada aturan hukum material dan
peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yakni hukum acara. Dengan demikian
aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural, dapat
dikatakan sebagai batas normatif terhadap kebebasan kekuasaan peradilan atau
kebebasan hakim dalam proses peradilan.
Kekuasaan kehakiman merupakan suatu
mandat kekuasaan negara yang dilimpahkan kepada kekuasaan kehakiman. Mandat
kekuasaan negara untuk sepenuhnya mewujudkan hukum dasar yang terdapat dalam
rechtsidee untuk diwujudkan dalam suatu keputusan hukum yang individual dan
konkret, untuk diterapkan pada suatu perkara hukum yang juga individual
konkret.[22] Dengan perkataan lain, kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai
kewenangan dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum
terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya dengan
memperhatikan hukum dasar negara.[23]Dengan demikian dalam sistem hukum
nasional yang berlaku, penyelesaian hukum dalam perkara yang individual konkret
hanya ada pada satu tangan yaitu pada kekuasaan kehakiman. Hal demikian berlaku
tidak saja untuk perkara-perkara konkret yang berkaitan dengan persengketaan
hukum yang terjadi di antara sesama warga negara, tetapi juga berlaku untuk
perkara-perkara yang menyangkut sengketa antara warga negara dan pemerintah.
Dari uraian di atas, dapat diambil
simpulan pengertian bahwa dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka terkandung
tujuan atau konsep dasar, yaitu:
1.
Sebagai
bagian dari sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan(distribution of power) di antara
badan-badan penyelenggara negara.
2.
Sebagai
bagian dari upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat.
3.
Untuk
mencegah kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah.
Sebagai suatu ‘conditio sine quanon’
bagi terwujudnya negara hukum dan pengendalian atas jalannya pemerintahan
negara.
Mahkamah
Agung dan Lembaga Peradilan di Bawahnya
Peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya adalah
sebagai berikut.
·
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dirubah menjadi Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
·
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
·
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dirubah menjadi
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara;
·
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dirubah menjadi Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
·
Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Mahkamah
Agung
Mahkamah Agung merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 ayat (2 )dan
pasal 24A ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman serta Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung.
Dalam undang-undang ini mengatur
tentang kedudukan, susunan, kekuasaan, hukum acara yang berlaku pada
pemeriksaan perkara di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota
negara Republik Indonesia.
Kewenangan Mahkamah Agung adalah:
a. Mahkamah Agung bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutus:
·
permohonan
kasasi;
·
sengketa
tentang kewenangan mengadili;
·
permohonan
peninjauan kembali.
b. Menguji peraturan
perundang-undangan yang di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
c. kewenangan lainnya yang diberikan
oleh undang-undang.
Terdapat pengecualian dalam pengajuan
permohonan kasasi, ada perkara-perkara tertentu yang tidak dapat diajukan
permohonan kasasi, perkara tersebut adalah:
·
putusan
praperadilan;
·
perkara
pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
diancam pidana denda;
·
perkara
tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang
jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
Mahkamah Agung berwenang juga:
Ø
Melakukan
pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan
peradilan yang berada di bawahnya dalam menjalankan kekuasaan kehakiman;
Ø
Melakukan
pengawasan organisasi, administrasi badan peradilan yang ada di bawahnya;
Ø
meminta
keterangan tentang hal-hal yang berkaitan dengan teknis peradilan dari semua
badan yang berada di bawahnya;
Ø
Memberi
petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan yang berada
di bawahnya;
Ø
Memberikan
pertimbangan hukum kepada presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi;
Ø
Dapat
memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga
negara dan lembaga pemerintahan.
Ø
Dalam
melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung merupakan pengadilan tertinggi
dari semua lingkungan peradilan. Segala urusan organisasi, administrasi, dan
finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Peradilan Umum
Peradilan Umum diatur dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah
dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan dengan
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam undang-undang ini diatur
susunan, kekuasaan, dan kedudukan hakim serta tata kerja administrasi pada
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan
Peradilan Umum dilaksanakan oleh:
– Pengadilan Negeri;
– Pengadilan Tinggi.
Pengadilan Negeri berkedudukan di di ibukota
kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan
Tinggi berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah
propinsi. Pengadilan Negeri merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan
Tinggi merupakan Pengadilan Tingkat Banding, Peradilan umum sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung
Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan
Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang
diputus oleh Pengadilan Negeri dan merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan
Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di
daerah hukumnya.
Kekuasaan dan kewenangan mengadili
Pengadilan Negeri adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana
dan perkara perdata di tingkat pertama bagi rakyat pencari keadilan pada
umumnya kecuali undang-undang menentukan lain.
Pada lingkungan Peradilan Umum dapat
dibentuk pengkhususan pengadilan yang diatur dalam undang-undang sebagaimana
tercantum dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Pengadilan khusus
pada lingkungan Peradilan Umum antara lain Pengadilan Anak, Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, Pengadilan Niaga, Pengadilan Perikanan dan Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
Peradilan Agama
Peradilan Agama diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah
dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu sebagaimana dimaksud undang-undang .
Dalam undang-undang ini diatur
susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan hakim serta segi-segi
administrasi pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan
Peradilan Agama dilaksanakan oleh:
– Pengadilan Agama;
– Pengadilan Tinggi Agama.
Pengadilan Agama berkedudukan di
ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota.
Pegadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah propinsi tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian.
Pengadilan Agama merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi
Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Peradilan Agama sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.
Peradilan Agama berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama
Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud
“antara orang yang beragama Islam ” adalah orang atau badan hukum yang dengan
sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum Islam mengenai
hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.
Kewenangan Pengadilan Agama
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infak;
h. sodaqoh;
i. ekonomi syari’ah.
Pengadilan Tinggi Agama merupakan
Pengadilan Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama dan merupakan Pengadilan
Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan
Agama di daerah hukumnya.
Pada lingkungan Peradilan Agama dapat
dibentuk pengkhususan pengadilan yang diatur dalam undang-undang sebagaimana
tercantum dalam pasal 3A Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan
Syari’ah Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan peradilan khusus
dalam lingkungan Peradilan Agama dan merupakan peradilan khusus dalam
lingkungan Peradilan Umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan
Peradilan Umum. Pengadilan Arbitrasi Syari’ah termasuk Pengadilan khusus dalam
lingkungan Peradilan Agama.
Pengadilan syari’ah Islam di Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam diatur dengan Undang-Undang Mahkamah Syar’iyah di
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Aceh sebagai Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
Berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003 Pengadilan Agama di Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam berubah menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Tinggi Agama
berubah menjadi Mahkamah Syar’iyah Propinsi.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh, Peradilan khusus dalam lingkungan Peradilan
Agama diatur dalam BAB XVIII tentang MAHKAMAH SYAR’IYAH Pasal 128 – Pasal 137.
Pengadilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama
di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam di adalah:
–
Mahkamah
Syar’iyah (Tingkat Pertama);
–
Mahkamah
Syar’iyah Aceh (Tingkat Banding);
–
Mahkamah
Agung (Tingkat Kasasi).
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah adalah
memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara-perkara:
–
ahwal
syahsiyah (hukum keluarga);
–
muamalah
(hukum perdata);
–
jinayah
(hukum Pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dan akan diatur dalam Qonun
Aceh.
Peradilan Militer
Peradilan Militer diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam
undang-undang ini diatur tentang ketentuan-ketentuan umum, susunan pengadilan,
kekuasaan oditurat, hukum acara Pidana Militer, hukum acara Tata Usaha Militer,
dan ketentuan-ketentuan lain.
Peradilan Militer merupakan peradilan
khusus bagi prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Prajurit adalah
warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk
mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata, rela
berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk
kepada hukum militer.
Pengadilan di lingkungan Peradilan
militer sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia meliputi Pengadilan
Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan
Militer Pertempuran.
Pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan
Bersenjata yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tertinggi.
Kewenangan Peradilan Militer adalah
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Peradilan Militer adalah
sebagai berikut.
1.
Mengadili
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak
pidana adalah:
a.
Prajurit;
b.
yang
berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c.
anggota
suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap
sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
d.
seseorang
yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas
keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh
suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2.
Memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
3.
Menggabungkan
perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas
permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh
tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara
tersebut dalam satu putusan.
Pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer terdiri dari:
a.
Pengadilan
Militer;
b.
Pengadilan
Militer Tinggi;
c.
Pengadilan
Militer Utama; dan
d.
Pengadilan
Militer Pertempuran.
Tempat kedudukan Pengadilan Militer
Utama berada di Ibukota Negara Republik Indonesia yang daerah hukumnya meliputi
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Untuk pengadilan lainnya ditetapkan
dengan Keputusan Panglima. Apabila perlu Pengadilan Militer dan Pengadilan
Militer Tinggi dapat bersidang di luar tempat kedudukannya. Pengadilan Militer
dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar daerah hukumnya atas izin
Kepala Pengadilan Militer Utama.
Pengadilan Militer memeriksa dan
memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah:
a.
Prajurit
yang berpangkat Kapten ke bawah;
b.
Mereka
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya
“termasuk tingkat kepangkatan” Kapten ke bawah; dan
c.
Mereka
yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer.
Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi
adalah sebagai berikut.
Pada tingkat pertama:
a. memeriksa dan memutus perkara pidana
yang terdakwanya adalah:
·
Prajurit
atau salah satu prajuritnya berpangkat Mayor ke atas;
·
Mereka
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya
atau salah satu terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” mayor ke atas; dan
·
Mereka
yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer
Tinggi;
b. Memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
Pada tingkat banding:
Memeriksa dan memutus perkara pidana
yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang
dimintakan banding;
Pada tingkat pertama dan terakhir:
memeriksa dan memutus sengketa
kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.
Kekuasaan Pengadilan Militer Utama
memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata
Usaha Angkatan Bersenjata yang telah diputus oleh Pengadilan Militer Tinggi
sebagai pengadilan tingkat pertama yang dimintakan banding.
Pengadilan Militer Utama memutus pada
tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili:
a.
antar
Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi
yang berlainan;
b.
antar
Pengadilan Militer Tinggi; dan
c.
antara
Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer.
Pengadilan Militer Utama memutus pada
tingkat pertama dan terakhir perbedaan perbedaan pendapat antara Perwira
Penyerah Perkara dengan Oditur tentang diselesaikannya suatu perkara di luar
Pengadilan atau diselesaikan di Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum atau di
Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer.
Pengadilan Militer Utama melakukan
pengawasan terhadap:
a. penyelenggaraan peradilan di semua
lingkungan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer
Pertempuran di daerah hukumnya masing-masing;
b. tingkah laku dan perbuatan Hakim
dalam menjalankan tugasnya.
Pengadilan Militer Utama berwenang
untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis
peradilan dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan
Militer Pertempuran.
Pengadilan Militer Utama memberi
petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan
Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
Pengadilan Militer Utama meneruskan
perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan kembali, dan grasi kepada Mahkamah
Agung.
Kekuasaan Pengadilan Militer
Pertempuran memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara
pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di
daerah pertempuran. Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti
gerakan pasukan dan berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran.
Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara diatur
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam
undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan hakim
serta tata kerja administrasi pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara dilaksanakan oleh:
–
Pengadilan
Tata Usaha Negara;
–
Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara.
–
Pengadilan
Khusus (Pajak)
Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan
Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan
Pengadilan Tingkat Banding. Peradilan Tata Usaha Negara sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.
Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan
di di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah
kabupaten/kota. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota
propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi. Pembentukan Pengadilan
Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dilaksanakan secara
bertahap dengan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai faktor baik yang
bersifat teknis maupun non teknis.
Kekuasaan dan kewenangan mengadili
Pengadilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama bagi rakyat pencari keadilan.
Sengketa Tata Usaha Negara adalah
suatu sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang-orang
atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara baik di
pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Yang termasuk Keputusan Tata Usaha
Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat
Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual,
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau badan hukum perdata.
Tidak termasuk Keputusan Tata Usaha
Negara menurut undang-undang ini adalah sebagai berikut.
a.
Keputusan
Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
b.
Keputusan
Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
c.
Keputusan
Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
d.
Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum
pidana.
e.
Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan Badan Peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f.
Keputusan
Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia.
g.
Keputusan
Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan
umum.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
merupakan Pengadilan Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan merupakan
Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili
antar Pengadilan Tata Usaha Negara di daerah hukumnya. Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara juga berwenang mengadili perkara pada tingkat pertama terhadap
perkara yang telah digunakan upaya administratif.
Pengadilan Tata Usaha Negara tidak
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaian sengketa Tata Usaha Negara
tertentu dalam hal yang disengketakan itu dikeluarkan:
a.
Dalam
waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa
yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.
Dalam
keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pengadilan Pajak
Pengadilan pajak adalah badan
peradilan yang melaksanakan Kekuasaan kehakiman di Indonesia bagi wajib pajak
atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. [1].
Dimana yang dimaksud sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dibidang
perpajakan antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada
Pengadilan pajak. Itu termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan
undang-undang penagihan dengan surat paksa
Tempat
Kedudukan
Pengadilan pajak dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak[1]. Kedudukan
Pengadilan Pajak berada di ibu kota negara[1]. Persidangan oleh Pengadilan
Pajak dilakukan di tempat kedudukannya, dan dapat pula dilakukan di tempat lain
berdasarkan ketetapan Ketua Pengadilan Pajak[1]. Saat ini terdapat dua tempat
bersidang di luar tempat kedudukan yakni di Yogyakarta dan Surabaya.[2]
Organisasi
Susunan Pengadilan Pajak terdiri atas:
Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris, dan Panitera. Pimpinan Pengadilan Pajak
sendiri terdiri dari seorang Ketua dan sebanyak-banyaknya 5 orang Wakil Ketua.
Saat ini Sekretaris merangkap tugas Kepaniteraan sebagai Panitera. [3]
Pembinaan serta pengawasan umum
terhadap Hakim Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung[1]. Sedangkan
pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan ditanggulangi oleh Kementerian
Keuangan[1]. Selain itu, ada juga penjelasan dalam pasal 9A ayat (1)
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan dalam
Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 tahun 2009 , secara tegas dinyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak
merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara[4].
Adapun dasar untuk menegaskan
kedudukan Pengadilan Pajak dalam lingkup peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung, adalah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara
nomor 004/PUU-11/2004 dinyatakan, pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan
peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.
Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak
Permasalahan
Dilihat dari fungsinya, Pengadilan
Pajak merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman
merupakan ranah atau wilayah kekuasaan Yudikatif. Artinya, secara konseptual
pembinaan yang ditempatkan di satu sisi di Mahkamah Agung sebagai lembaga
Yudikatif dan di sisi lain pembinaan ditempatkan di Kementerian Keuangan
sebagai lembaga Eksekutif tidak konsisten atau menciptakan kontradiksi.
Seharusnya berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan terdapat pemisahan yang
tegas antara lembaga yudikatif dan eksekutif, dengan kata lain untuk keseluruh
pembinaan di pengadilan pajak menjadi satu atap atau dilaksanakan oleh satu
institusi saja. [5]
Referensi :
0 komentar:
Posting Komentar